Jumat, 22 Februari 2013

Ular Sanca Hijau (Morelia viridis)

Kebanyakan spesies python berstatus langka. Dalam CITES (Convention Internaional Trade in Endangered of Wild Flora and Fauna), semua famili Boidae termasuk ular Sanca Hijau ( Morelia viridis) di dalamnya masuk dalam Appendix II, itu berarti satwa imi terancam dan perdagangan hanya diijinkan dengan ijin tertentu. Ular Sanca Hijau (Morelia viridis) diburu untuk dijadikan hewan kesayangan karena memiliki kulit yang indah dan mahal harganya sehingga tidak mengherankan jika spesies ini menjadi incaran para pelaku bisnis.

Sejak awal sudah disadari bahwa pola pemanfaatan satwaliar dengan cara memungut langsung dari alam dalam jangka panjang akan mengancam kelestarian jenis tersebut. Padahal hakekat keberadaan satwaliar sebagai salah satu sumberdaya ekonomi, tidak semata dimaksudkan untuk kepentingan generasi sekarang melainkan juga untuk kepentingan generasi mendatang. Maka diperlukan suatu pengaturan dan perubahan pola pemanfaatan satwa liar agar tetap menjamin kelestarian fungsi-fungsinya menjadi penting.

Salah satu cara untuk melestarikan ular agar populasinya tidak mengalami penurunan adalah dengan mengembangkannya melalui kegiatan penangkaran. Penangkaran merupakan salah satu cara dalam rangka kegiatan pelestarian satwa diluar habitat aslinya (ex-situ) yang memerlukan keahlian yang khusus. Pengetahuan dasar yang harus dimiliki adalah pengetahuan tentang: biologi dan ekologi jenis, reproduksi, pakan, penanganan penyakit, dan aspek-aspek pemeliharaan lainnya.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bioekologi



Gb 1. Ular Sanca Hijau (Morelia viridis)

Menurut Gow (1989) dalam Kustiarto (1990), ular sanca hijau (Morelia viridis) memiliki klasifikasi sebaga berikut:

Phy llum: Chordata

Subphyllum: Vertebrata

Class: Reptilia

Subclass: Lepidosauria

Ordo: Squamata

Subordo: Serpe ntes

Famili: Boidae

Subfamili: Phytonidae

Genus: Morelia

Species: Morelia viridis

Ular sanca hijau memiliki bentuk kepala lebih jelas yang dapat dibedakan dari leher yang tertutup sisik kecil, nostris pada nasal tunggal atau nasal yang terbagi. Tiap-tiap nasal tersebut dipisahkan oleh sisik-sisik kecil, labial atas anterior, rostral, dan beberapa labial bawah yang berlubang. Pupil mata ular Sanca Hijau mempunyai bentuk vertikal, premaxillary tanpa gigi, gigi anterior besar dan posterior kecil, badan sedikit pipih yang tertutup oleh sisik halus, ekor sedang, prehensile, sisik subcaudal dua baris. Ular ini memiliki panjang antara 1.5 meter hingga 1.8 meter.

B. Penyebaran

Ular sanca Hijau (Morelia viridis) hidup di daerah tropis, hutan hujan tropis, dan hutan pegunungan, baik hutan primer maupun hutan sekunder yang lembab. Penyebaran jenis ular ini adalah di New Guinea Australia dan di Kepulauan Aru. Ular ini hanya mempunyai satu spesies yaitu Morelia viridis ( Kustiarto 1990).

Menurut Van Hoeve (1988) dalam Kustiarto (1990), Sanca Hijau pada umumnya hidup di hutan primer dan hutan sekunder, menempati habitat dataran rendah dan air, bahkan dijuluki dengan hewan setengah air karena hidupnya lebih menyukai air. Makanan ular Sanca Hijau (Morelia viridis) pada umumnya sejenis tikus dan rodentia kecil-kecil dengan cara membelit dari pucuk pohon kemudian menelannya.

Pada lingkungan yang bertekanan rendah, maka akan memiliki tingkat kesuburan ular Sanca Hijau (Morelia viridis) yang tinggi. Hal ini akan terlihat jelas pada penangkapan ular Sanca Hijau di alam oleh masyarakat (Ross et al. 1990).

C. Perilaku

Perilaku satwa adalah ekspresi satwa yang disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut adalah faktor dalam (endogenous factor) dan faktor luar (exogenous factor) serta faktor pengalaman dan faktor fisiologi (Sentanu 1999).

Selanjutnya dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku binatang tersebut dikatakan sebagai rangsangan, sedangkan aktivitas yang ditimbulkan oleh rangsangan tersebut dikenal dengan nama respon (Tanudimadja & Kusumamihardja 1985). Tanudimadja dan Kusumamihardja (1985) juga mengatakan bahwa fungsi dari perilaku adalah untuk memungkinkan satwa beradaptasi terhadap perubahan, baik perubahan dari dalam (internal) maupun perubahan dari luar (external) tubuh satwa.

Secara umum perilaku seksual pada ular hampir sama dengan perilaku pada jenis-jenis reptil yang lain yakni terdapat 5 tahapan, seperti yang diuraikan oleh (Suharmono 1998). Tahapan-tahapan perilaku seksual tersebut adalah:

1. Menarik perhatian

Perilaku kawin dimulai dengan perilaku menarik perhatian (courtship) yang dilakukan oleh induk jantan kepada induk betina. Dalam menarik perhatian induk betina, umumnya induk pejantan menampilkan gerakan-gerakan sembari menjulurkan lidahnya.

2. Bercumbu

Setelah menangkap tubuh betina, maka pejantan akan melakukan percumbuan. Percumbuan yang dilakukan pejantan adalah dengan mencengkram betina, menggigit lehernya sambil meninggalkan luka. Setelah itu betina dilepaskan kembali.

3. Menaiki

Tahap menaiki yang dilakukan pejantan hampir sama dengan tahap bercumbu. Untuk tahap ini posisi jantan tidak terletak di atas tubuh betina, akan tetapi menjatuhkan dirinya disamping tubuh induk betina.

4. Intomisi dan Ejakulasi

Tahap intomisi di awali dengan berontaknya betina sehingga menyebabkan terangkatnya lubang kloaka betina. Pada saat bersamaan pada lubang kloaka pejantan muncul organ hepernis sehingga kedua lubang tersebut bertemu dan organ hepernis jantan masuk ke kloaka betina hingga organ hemipenis jantan mengeluarkan cairan sperma.

5. Relaksasi

Merupakan tahapan terakhir dari seksual ditandai dengan melepasnya organ hemipenis dan ekor pejantan mengendorkan cengkeramannya dan melepaskan leher betina. Perilaku yang terjadi setelah tahap ini adalah berdiam diri ditempatnya untuk istirahat.

Ross et al. (1990) menyatakan bahwa jenis makanan ular pada dasarnya ditentukan oleh habitat ular itu sendiri, ketersediaan makanan akan menjamin kelangsungan hidupnya di alam. Makanan yang terbaik bagi ular di penangkaran adalah makanan yang seperti keadaan alaminya seperti tikus, burung dan lain sebagainya. Biasanya pada tahap awal dilakukan pengenalan terhadap makanannya selama 7 sampai 12 hari, pada tahap itu anakan ular masih makan cairan yang di bawanya saat penetasan.

D. Pertumbuhan

Rounsefell dan Everhart (1962) dalam Kustiarto (1990) berpendapat bahwa pertumbuhan dapat diartikan secara sederhana sebagai pertambahan gradual ukuran atau massa atau unit sesuatu dari unit kehidupan dengan bertambahnya waktu. Ini berlaku untuk bagian organisme, keseluruhan organisme atau populasi suatu organisme. Sedangkan laju pertumbuhan adalah pertambahan ukuran yang telah dicapai (mm) per minggu. Jadi laju pertumbuhan lebih menyerupai perhitungan secara logaritmik daripada perhitungan secara aritmatika. Pertumbuhan suatu organisme dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu faktor dalam dimana pola pertumbuhannya diturunkan oleh induk dan faktor luar dimana pertumbuhannya dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti kualitas dan kuantitas makanan serta suhu.

E. Penangkaran

Masy’ud (1989) memberikan pengertian tentang penangkaran yaitu sebagai suatu kegiatan untuk mengembangkan jenis-jenis satwaliar atau tumbuhan alam yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan. Selanjutnya dikatakan bahwa kegiatan penangkaran adalah meliputi kegiatan pengumpulan bibit, pengembangbiakan, perkawinan, penetasan telur, pembesaran anak, serta pelepasliaran kembali ke alam.

Menurut Masy’ud (1989) teknologi yang dibutuhkan mencakup berbagai tahapan usaha penangkaran mulai dari tahap pengumpulan atau penangkaran satwa yang akan digunakan sebagai bibit dari lapangan, tahap pengangkutan, pemeliharaan, pembesaran serta pengembalian kembali ke alam.

Teknologi penangkapan satwa perlu diperhatikan secara khusus, mengingat perilaku satwaliar umumnya sangat sensitif. Karena sifat satwa yang khas tersebut maka diperlukan suatu teknik yang tepat untuk menghindari terjadinya stress pada satwa selama proses penangkapan dan pengangkutan. Dalam proses penangkaran, teknologi yang diperlukan mencakup aspek perkandangan, makanan, reproduksi, kesehatan, dan pasca panen. Selain itu suatu penangkaran dikatakan sukses apabila teknologi reproduksi satwa tersebut telah diketahui dan dikuasai dengan baik dengan bukti satwa yang ditangkarkan dapat berkembangbiak dengan baik pula.

Adapun menurut Masy’ud (1989) penangkaran tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan jenis-jenis satwaliar yang terancam kepunahannya tetapi juga sebagai usaha untuk melipatgandakan populasi dan mempertahankan kemunian jenis satwa yang ditangkarkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

 
Support : Copyright © 2011. DUNIA BINATANG - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger