Kebanyakan spesies python berstatus langka. Dalam CITES (Convention
Internaional Trade in Endangered of Wild Flora and Fauna), semua famili
Boidae termasuk ular Sanca Hijau ( Morelia viridis) di dalamnya masuk
dalam Appendix II, itu berarti satwa imi terancam dan perdagangan hanya
diijinkan dengan ijin tertentu. Ular Sanca Hijau (Morelia viridis)
diburu untuk dijadikan hewan kesayangan karena memiliki kulit yang indah
dan mahal harganya sehingga tidak mengherankan jika spesies ini menjadi
incaran para pelaku bisnis.
Sejak awal sudah disadari bahwa pola
pemanfaatan satwaliar dengan cara memungut langsung dari alam dalam
jangka panjang akan mengancam kelestarian jenis tersebut. Padahal
hakekat keberadaan satwaliar sebagai salah satu sumberdaya ekonomi,
tidak semata dimaksudkan untuk kepentingan generasi sekarang melainkan
juga untuk kepentingan generasi mendatang. Maka diperlukan suatu
pengaturan dan perubahan pola pemanfaatan satwa liar agar tetap menjamin
kelestarian fungsi-fungsinya menjadi penting.
Salah satu cara
untuk melestarikan ular agar populasinya tidak mengalami penurunan
adalah dengan mengembangkannya melalui kegiatan penangkaran. Penangkaran
merupakan salah satu cara dalam rangka kegiatan pelestarian satwa
diluar habitat aslinya (ex-situ) yang memerlukan keahlian yang khusus.
Pengetahuan dasar yang harus dimiliki adalah pengetahuan tentang:
biologi dan ekologi jenis, reproduksi, pakan, penanganan penyakit, dan
aspek-aspek pemeliharaan lainnya.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Bioekologi
Gb 1. Ular Sanca Hijau (Morelia viridis)
Menurut Gow (1989) dalam Kustiarto (1990), ular sanca hijau (Morelia viridis) memiliki klasifikasi sebaga berikut:
Phy llum: Chordata
Subphyllum: Vertebrata
Class: Reptilia
Subclass: Lepidosauria
Ordo: Squamata
Subordo: Serpe ntes
Famili: Boidae
Subfamili: Phytonidae
Genus: Morelia
Species: Morelia viridis
Ular
sanca hijau memiliki bentuk kepala lebih jelas yang dapat dibedakan
dari leher yang tertutup sisik kecil, nostris pada nasal tunggal atau
nasal yang terbagi. Tiap-tiap nasal tersebut dipisahkan oleh sisik-sisik
kecil, labial atas anterior, rostral, dan beberapa labial bawah yang
berlubang. Pupil mata ular Sanca Hijau mempunyai bentuk vertikal,
premaxillary tanpa gigi, gigi anterior besar dan posterior kecil, badan
sedikit pipih yang tertutup oleh sisik halus, ekor sedang, prehensile,
sisik subcaudal dua baris. Ular ini memiliki panjang antara 1.5 meter
hingga 1.8 meter.
B. Penyebaran
Ular sanca Hijau (Morelia
viridis) hidup di daerah tropis, hutan hujan tropis, dan hutan
pegunungan, baik hutan primer maupun hutan sekunder yang lembab.
Penyebaran jenis ular ini adalah di New Guinea Australia dan di
Kepulauan Aru. Ular ini hanya mempunyai satu spesies yaitu Morelia
viridis ( Kustiarto 1990).
Menurut Van Hoeve (1988) dalam
Kustiarto (1990), Sanca Hijau pada umumnya hidup di hutan primer dan
hutan sekunder, menempati habitat dataran rendah dan air, bahkan
dijuluki dengan hewan setengah air karena hidupnya lebih menyukai air.
Makanan ular Sanca Hijau (Morelia viridis) pada umumnya sejenis tikus
dan rodentia kecil-kecil dengan cara membelit dari pucuk pohon kemudian
menelannya.
Pada lingkungan yang bertekanan rendah, maka akan
memiliki tingkat kesuburan ular Sanca Hijau (Morelia viridis) yang
tinggi. Hal ini akan terlihat jelas pada penangkapan ular Sanca Hijau di
alam oleh masyarakat (Ross et al. 1990).
C. Perilaku
Perilaku
satwa adalah ekspresi satwa yang disebabkan oleh faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Faktor tersebut adalah faktor dalam (endogenous factor)
dan faktor luar (exogenous factor) serta faktor pengalaman dan faktor
fisiologi (Sentanu 1999).
Selanjutnya dikatakan bahwa
faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku binatang tersebut dikatakan
sebagai rangsangan, sedangkan aktivitas yang ditimbulkan oleh
rangsangan tersebut dikenal dengan nama respon (Tanudimadja &
Kusumamihardja 1985). Tanudimadja dan Kusumamihardja (1985) juga
mengatakan bahwa fungsi dari perilaku adalah untuk memungkinkan satwa
beradaptasi terhadap perubahan, baik perubahan dari dalam (internal)
maupun perubahan dari luar (external) tubuh satwa.
Secara umum
perilaku seksual pada ular hampir sama dengan perilaku pada jenis-jenis
reptil yang lain yakni terdapat 5 tahapan, seperti yang diuraikan oleh
(Suharmono 1998). Tahapan-tahapan perilaku seksual tersebut adalah:
1. Menarik perhatian
Perilaku
kawin dimulai dengan perilaku menarik perhatian (courtship) yang
dilakukan oleh induk jantan kepada induk betina. Dalam menarik perhatian
induk betina, umumnya induk pejantan menampilkan gerakan-gerakan
sembari menjulurkan lidahnya.
2. Bercumbu
Setelah
menangkap tubuh betina, maka pejantan akan melakukan percumbuan.
Percumbuan yang dilakukan pejantan adalah dengan mencengkram betina,
menggigit lehernya sambil meninggalkan luka. Setelah itu betina
dilepaskan kembali.
3. Menaiki
Tahap menaiki yang
dilakukan pejantan hampir sama dengan tahap bercumbu. Untuk tahap ini
posisi jantan tidak terletak di atas tubuh betina, akan tetapi
menjatuhkan dirinya disamping tubuh induk betina.
4. Intomisi dan Ejakulasi
Tahap
intomisi di awali dengan berontaknya betina sehingga menyebabkan
terangkatnya lubang kloaka betina. Pada saat bersamaan pada lubang
kloaka pejantan muncul organ hepernis sehingga kedua lubang tersebut
bertemu dan organ hepernis jantan masuk ke kloaka betina hingga organ
hemipenis jantan mengeluarkan cairan sperma.
5. Relaksasi
Merupakan
tahapan terakhir dari seksual ditandai dengan melepasnya organ
hemipenis dan ekor pejantan mengendorkan cengkeramannya dan melepaskan
leher betina. Perilaku yang terjadi setelah tahap ini adalah berdiam
diri ditempatnya untuk istirahat.
Ross et al. (1990) menyatakan
bahwa jenis makanan ular pada dasarnya ditentukan oleh habitat ular itu
sendiri, ketersediaan makanan akan menjamin kelangsungan hidupnya di
alam. Makanan yang terbaik bagi ular di penangkaran adalah makanan yang
seperti keadaan alaminya seperti tikus, burung dan lain sebagainya.
Biasanya pada tahap awal dilakukan pengenalan terhadap makanannya selama
7 sampai 12 hari, pada tahap itu anakan ular masih makan cairan yang di
bawanya saat penetasan.
D. Pertumbuhan
Rounsefell dan
Everhart (1962) dalam Kustiarto (1990) berpendapat bahwa pertumbuhan
dapat diartikan secara sederhana sebagai pertambahan gradual ukuran atau
massa atau unit sesuatu dari unit kehidupan dengan bertambahnya waktu.
Ini berlaku untuk bagian organisme, keseluruhan organisme atau populasi
suatu organisme. Sedangkan laju pertumbuhan adalah pertambahan ukuran
yang telah dicapai (mm) per minggu. Jadi laju pertumbuhan lebih
menyerupai perhitungan secara logaritmik daripada perhitungan secara
aritmatika. Pertumbuhan suatu organisme dipengaruhi oleh banyak faktor,
yaitu faktor dalam dimana pola pertumbuhannya diturunkan oleh induk dan
faktor luar dimana pertumbuhannya dipengaruhi oleh faktor-faktor
lingkungan seperti kualitas dan kuantitas makanan serta suhu.
E. Penangkaran
Masy’ud
(1989) memberikan pengertian tentang penangkaran yaitu sebagai suatu
kegiatan untuk mengembangkan jenis-jenis satwaliar atau tumbuhan alam
yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan tetap
mempertahankan kemurnian jenisnya sehingga kelestarian dan keberadaannya
di alam dapat dipertahankan. Selanjutnya dikatakan bahwa kegiatan
penangkaran adalah meliputi kegiatan pengumpulan bibit,
pengembangbiakan, perkawinan, penetasan telur, pembesaran anak, serta
pelepasliaran kembali ke alam.
Menurut Masy’ud (1989) teknologi
yang dibutuhkan mencakup berbagai tahapan usaha penangkaran mulai dari
tahap pengumpulan atau penangkaran satwa yang akan digunakan sebagai
bibit dari lapangan, tahap pengangkutan, pemeliharaan, pembesaran serta
pengembalian kembali ke alam.
Teknologi penangkapan satwa perlu
diperhatikan secara khusus, mengingat perilaku satwaliar umumnya sangat
sensitif. Karena sifat satwa yang khas tersebut maka diperlukan suatu
teknik yang tepat untuk menghindari terjadinya stress pada satwa selama
proses penangkapan dan pengangkutan. Dalam proses penangkaran, teknologi
yang diperlukan mencakup aspek perkandangan, makanan, reproduksi,
kesehatan, dan pasca panen. Selain itu suatu penangkaran dikatakan
sukses apabila teknologi reproduksi satwa tersebut telah diketahui dan
dikuasai dengan baik dengan bukti satwa yang ditangkarkan dapat
berkembangbiak dengan baik pula.
Adapun menurut Masy’ud (1989)
penangkaran tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan jenis-jenis
satwaliar yang terancam kepunahannya tetapi juga sebagai usaha untuk
melipatgandakan populasi dan mempertahankan kemunian jenis satwa yang
ditangkarkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.sumber
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar