Senin, 25 Februari 2013

ular naga (Xenodermus javanicus)

-->

 

Taksonomi

Kerajaan Divisi Kelas Urutan Keluarga
Animalia Chordata Reptilia Squamata XENODERMATIDAE

Nama Ilmiah: Xenodermus javanicus
Spesies Authority: Reinhardt, 1836
Nama umum / s:
Inggris - Rough backed Litter Snake

Keterangan: Spesies ini terjadi dari ekstrim selatan Myanmar selatan ke Sundaland (Sumatera, Jawa, dan Kalimantan). Keberadaannya di Myanmar adalah marjinal, di mana diketahui hanya dari catatan lama diambil di Victoria Point (= Kawthaung) (Smith 1943), sebuah kota perbatasan di ujung paling selatan daratan Myanmar. Ada satu catatan dari Thailand selatan, dari Sai Kao terjun di Pattani dilaporkan oleh Taylor (1965), tetapi tidak ada catatan yang lebih baru dari negara ini. Oleh karena itu dianggap langka ar batas utara jangkauan (selatan Myanmar dan Thailand selatan).
Populasi: Spesies ini jarang ditemui, meskipun umum di Jawa (David dan Vogel 1996). Seperti sering pergi ladang dan sawah beririgasi (Smith 1943; David dan Vogel 1996) mungkin akan meningkat dalam ukuran populasi.
Habitat dan Ekologi: Spesies ini ditemukan dari permukaan laut sampai dengan 1.300 m elevasi, tetapi paling sering terjadi antara 500 dan 1.100 m. Ini adalah semi-fossorial dan terjadi di tempat yang lembab dekat air, termasuk hutan, rawa, dan rawa-rawa, dan terutama sawah. Feed hanya pada katak. Spesies ini yg menelur dan meletakkan 2-4 telur (Smith 1943, David dan Vogel 1996). Di Semenanjung Malaysia itu ditemukan di daerah rawa dan sungai hingga 400 meter di atas permukaan laut.

Panjang ular ini maximak 55 cm tetapi meskipun ular ini termasuk jenis ular yang kecil,,ular ini adalah ular yang sangat digemari untuk dipelihara oleh para pecinta reptil karena keunikannya!!!



Jumat, 22 Februari 2013

Ular cecak / ular rumah / Lycodon capucinus

Ular cecak atau sering pula disebut sebagai ular rumah adalah sejenis ular kecil dari suku Colubridae. Dinamai demikian karena ular ini kerap dijumpai di dalam rumah, di sekitar dapur atau almari, untuk memburu cecak yang menjadi kegemarannya. Nama ilmiahnya adalah Lycodon capucinus dan dalam bahasa Inggris dikenal sebagai common wolf-snake, merujuk pada gigi yang memanjang menyerupai taring serigala di bagian muka rahangnya (bahasa Gerika: lycos, serigala; don, gigi).
Ular ini termasuk dalam golongan ular yang kecil karena ukuran panjang maksimalnya hanya 55 centimeter. Ciri-ciri fisik untuk mengenali ular ini yaitu  Punggung (dorsal) berwarna coklat atau coklat agak keunguan, dengan sebagian sisik bertepi putih membentuk pola belang (atau jala) samar-samar seperti bekas cat yang terhapus. Kepala berwarna coklat kurma, dengan warna putih atau keputih-putihan di bibir atas dan di tengkuk, kadang-kadang dengan sedikit warna kuning belerang. Perut (ventral) berwarna putih atau kekuningan.
Ular cecak agresif dan lekas menggigit apabila terganggu atau baru ditangkap. Gigitannya lumayan menyakitkan, terutama karena adanya ‘taring’ di rahang atas maupun bawah. Walaupun demikian ular ini tidak berbisa, sehingga luka gigitannya hanya mengakibatkan rasa pedih dan sedikit berdarah.
Setelah dipelihara beberapa lama dan dibiasakan, ular cecak umumnya lekas menjadi jinak dan tidak mau menggigit. Ular ini cukup rakus, dan mampu menghabiskan 2–3 ekor cecak dalam sehari.


Ular kadut (Homalopsis buccata)

Ular yang dewasa, bagian kepalanya terdapat tanda lurik simetris berwarna coklat tua agak terang yang menutupi kepala dan di tengahnya seperti ada gambar sayap kupu-kupu berwarna hitam. Bagian atas moncongnya ada tanda persegi tiga berwarna hitam yang jelas terlihat. Sedangkan pada bagian muka terdapat belang membujur melalui mata, seolah-olah topeng hitam penutup mata. Belang tersebut berujung pada sudut rahang dan menyatu dengan warna coklat kegelapan di bagian tengkuknya. Punggung mempunyai warna dasar coklat keabu-abuan atau coklat merah bata dengan kurang lebih 19-29 belang berwarna coklat tua agak terang (serupa dengan warna penutup kepala) yang tepinya hitam. Bagian ventrolateral dan perut keputih-putihan atau putih kekuning-kuningan dengan bercak-bercak coklat kehitam-hitaman, terutama banyak terdapat pada bagian tengah sampai ekor.
Pada ular yang masih muda, warna tubuhnya lebih terang (menyala). Warna dasar kepalanya kemerah-merahan dan terdapat tanda seperti pada ular dewasa. Bagian punggungnya berwarna merah kecoklat-coklatan yang terang, dengan beberapa belang-belang coklat kekuning-kuningan. Bagian perutnya putih kekuning-kuningan.
Makanan ular ini adalah katak dan ikan, karena ular ini tidak agresive maka sekarang banyak orang memelihara ular ini untuk di tempatkan di akuarium selain itu alasan ular ini banyak di pelihara oleh anusia adalah karena warna ular ini yang menarik dan juga harganya yang murah di pasaran.

Ular air / Enhydris enhydris

Ular-air pelangi adalah sejenis ular dari suku Colubridae, anak suku Homalopsinae. Ular ini dinamakan demikian karena warna-warni di tubuhnya menyerupai jalur-jalur warna pada pelangi, meski biasanya tidak begitu cerah. Dalam bahasa Inggris disebut dengan nama rainbow water-snake. Umum mengenalnya sebagai ular air, uler aer (Betawi), ulo banyu (Jawa), dan lain-lain. Sementara nama ilmiahnya adalah Enhydris enhydris (Schneider, 1799).
Ular yang umumnya bertubuh relatif kecil sampai sedang, panjang maksimum lebih sedikit dari 80 cm, meski kebanyakan antara 50-60 cm. Berkepala kecil, meski sering berperut gendut, dan berekor pendek.
Punggung (dorsal) umumnya berwarna coklat muda zaitun hingga abu-abu kehitaman, dengan sepasang garis yang kabur batasnya, berwarna lebih terang kecoklatan, agak jauh di sebelah menyebelah garis tulang punggungnya. Sisi samping badan (lateral) sebelah bawah berwarna terang kekuningan atau keputihan, dibatasi dengan garis zigzag kehitaman di sepanjang batas dengan sisik-sisik ventral (perut). Terkadang terlihat garis warna merah jambu agak samar di bagian terang ini, serupa dengan pola renda memanjang. Sisi bawah tubuh (ventral) kekuningan atau keputihan, kadang-kadang dengan bintik-bintik atau garis samar sepanjang garis tengahnya.
Sisik-sisik dorsal tersusun dalam 21 deret. Sisik ventral 150-177 buah, sisik anal (yang menutupi anus) sepasang/berbelah, sisik subkaudal (sisi bawah ekor) 47-78 pasang.

Kebiasaan dan penyebaran

Bersama dengan kerabatnya, ular lumpur E. plumbea, ular-air pelangi kerap ditemui di saluran-saluran air, kolam-kolam ikan, lingkungan sawah, rawa dan sungai-sungai kecil yang berarus tenang. Ular-ular ini amat gemar memangsa ikan kecil-kecil, dan seringkali menjadi hama di kolam-kolam pemeliharaan ikan. Mangsa lainnya adalah kodok, termasuk berudunya, dan diperkirakan juga kadal.

Ular-air pelangi di tepi sebuah rawa
E. enhydris –seperti umumnya Homalopsinae– berbiak dengan 'melahirkan' anaknya (ovovivipar). Yakni, telur berkembang sempurna dan menetas dalam perut induknya, untuk kemudian keluar sebagai ular kecil-kecil. E. enhydris melahirkan hingga 18 anak pada satu musimnya.
Di waktu pagi dan siang, ular-air pelangi kerap terlihat mengeluarkan kepala dan sebagian badannya dari air, dan berdiam diri menyerupai ranting kayu yang muncul dari dalam air. Ada kalanya beberapa ekor ular muncul bersama dalam jarak yang tidak berapa jauh.
E. enhydris mudah ditangkap dengan jerat. Di desa-desa di Jawa, anak-anak setempat biasa menangkapnya dengan berbekal jerat dari lidi daun kelapa yang masih segar. Ular ini umumnya jinak dan tak mau menggigit, sehingga kerap menjadi mainan anak-anak. Meski termasuk katagori ular berbisa lemah (mildly venomous), hampir tak pernah ada laporan mengenai kasus gigitannya.
Kebanyakan ular-ular marga Enhydris --sejauh ini telah dideskripsi 23 spesies dari marga ini, termasuk jenis ular baru E. gyii (ular-lumpur Kapuas) yang mampu berubah warna-- menyebar lokal atau terbatas. Hanya E. enhydris dan E. plumbea yang luas agihannya.
E. enhydris diketahui tersebar luas mulai dari Pakistan dan Nepal di barat, India, Bangladesh, Burma, Laos, Vietnam, Kamboja, Thailand, Semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, Borneo hingga Sulawesi di timur.sumber

Ular siput (Pareas carinatus)

Ular siput (Pareas carinatus) adalah sejenis ular kecil anggota suku Colubridae. Dinamai demikian baik karena mangsa utamanya adalah aneka siput kecil, maupun karena gerakannya yang lamban seperti mangsanya itu. Dalam bahasa Inggris ular ini dikenal sebagai keeled slug-snake atau keeled slug-eating snake, merujuk pada sisik-sisik vertebralnya yang berlunas rendah (keeled).

Pengenalan


Kepala dan leher
Ular kecil yang bertubuh ramping, cenderung kurus. Panjang tubuh total hingga sekitar 60 cm. Coklat kusam, coklat muda atau coklat agak kekuningan di sisi sebelah atas, dengan belang-belang hitam yang tipis dan samar-samar di sepanjang tubuhnya, kecuali pola X memanjang berwarna hitam tegas di atas tengkuk.[1] Sisi bawah tubuh (ventral) kuning atau kekuningan, dengan bintik-bintik halus gelap atau kemerahan. Kepala menjendol besar dengan moncong tumpul agak janggal. Mata relatif besar, dengan iris berwarna kuning kecoklatan. Ekor kurus meruncing.

Tersamar di antara serasah dedaunan
Ular ini tidak memiliki celah lurus di antara perisai-perisai[2] dagunya (mental groove). Di antara perisai nasal (hidung) dan mata terdapat dua buah perisai, yakni loreal dan preokular. Perisai labial (bibir) atas 7–9 buah, dipisahkan dari mata oleh 2–4 sisik kecil-kecil. Sisik-sisik dorsal (punggung) dalam 15 deret di tengah badan, sisik-sisik vertebral (yang paling atas, di atas tulang punggung) sedikit membesar dan berlunas rendah. Perisai-perisai ventral (perut) berjumlah 170–184 buah; perisai anal (dubur) tunggal; perisai subkaudal (bawah ekor) 60-88 buah, tak berpasangan.[1]

Kebiasaan, anak jenis dan penyebaran

Aktif di malam hari (nokturnal), ular siput biasa ditemui di hutan-hutan dataran rendah dan hutan pegunungan yang basah, lingkungan perkebunan hingga ke dekat permukiman. Sering memanjat vegetasi penutup tanah di tempat-tempat lembap, ular ini memburu dan memangsa aneka siput dan siput tak bercangkang. Tak jarang pula ular ini ditemukan menjalar perlahan di lantai hutan dan di dekat batang air. Catatan dari Berastagi menunjukkan bahwa ular ini didapati hingga ketinggian 1.300 m dpl. Ular siput bertelur hingga 8 butir.[3]
Ular ini tidak berbisa, bahkan tak dapat menggigit manusia. Akan tetapi perilakunya ketika merasa terancam mirip dengan ular berbisa; leher dan tubuh bagian depan ditarik melengkung membentuk huruf S, kemudian secepat kilat ular ini mematuk ke depan. Namun sesungguhnya mulutnya terlampau sempit untuk membuka dan menggigit ujung jari sekalipun. Dengan demikian sebetulnya gerakan itu hanya berfungsi untuk menakut-nakuti si pengganggu belaka, tanpa dapat melukai sedikitpun.
Celakanya, karena perilakunya itu ular siput kerap dibunuh orang. Karena lambannya, ular ini juga tidak jarang tergilas kendaraan ketika menyeberang jalan atau bahkan tidur bergelung di jalan yang hangat di waktu malam.
Pareas carinatus memiliki dua anak jenis[3] [4]:

Jenis yang serupa

Ular siput belang (Pareas nuchalis) memiliki ciri-ciri, bentuk tubuh dan perilaku yang amat serupa dengan Pareas carinatus. Keduanya sulit untuk dibedakan, kecuali dengan menghitung jumlah sisik-sisiknya. P. nuchalis memiliki 8-9 perisai labial atas, 207–218 perisai ventral, dan 105–108 perisai subkaudal. Ular ini ditemukan terbatas (endemik) di Borneo, di hutan-hutan dataran rendah tidak lebih dari ketinggian 500 m dpl.[5]sumber

Ular kisik a.k.a ular lare angon a.k.a Xenochrophis vittatus

Ular kisik adalah sejenis ular dari suku Colubridae. Dalam bahasa Jawa ular ini dikenal sebagai ula lare-angon (ular anak gembala) karena ular yang jinak ini biasa menjadi permainan anak-anak gembala di Jawa Tengah. Namanya dalam bahasa Inggris adalah striped keelback, merujuk pada garis-garis memanjang dan bentuk sisik-sisik punggungnya yang berlunas (keeled). Nama ilmiahnya adalah Xenochrophis vittatus (Linnaeus, 1758).
Ular kisik umumnya bertubuh kecil ramping. Panjang tubuh maksimal mencapai 70 cm, namun umumnya hanya sekitar 50 cm. Ekornya sekitar seperempat dari seluruh panjang tubuhnya.

close up kepala dan badan
Kepala berwarna hitam di bagian atas, dengan coret-coret putih yang berpola simetris. Moncong agak kemerahan seperti warna daging. Dorsal (sisi atas tubuh) dengan sepasang pita coklat kuning keemasan di atas warna hitam. Di bagian muka (anterior) masing-masing pita ini terbagi lagi oleh garis hitam tipis. Sisi ventral (bawah tubuh) berwarna putih, dengan garis-garis hitam pada tepi sisik ventral yang memberikan kesan warna lorek.
Sisik-sisik dorsal dalam 19 (19-19-17) deret, berlunas kecuali satu-dua deret terbawah. Sisik-sisik ventral sekitar 149 buah, sisik anal (penutup anus) berpasangan, sisik-sisik subkaudal (di bawah ekor) 80 pasang.
Perisai labial (bibir) atas berjumlah 9 buah, yang ke-4 hingga ke-6 menyentuh mata, putih dengan tepi belakang berwarna hitam. Labial bawah 10, no 4-7 membesar. Sebuah sisik anterior temporal terdapat di masing-masing sisi kepala. Lubang hidung mengarah ke samping.

Ular kisik merupakan ular darat yang hidup tidak jauh dari perairan. Ia menghuni hutan-hutan hujan dataran rendah hingga hutan pegunungan bawah sampai ketinggian sekitar 1200 m dpl., serta lingkungan pertanian dan pemukiman di sekitarnya. Ular kisik terutama menyukai lingkungan dekat sungai, saliran, rawa, sawah dan kolam, di mana ular ini dapat berenang dengan baik.
Ia sering didapati menyelusup di antara rerumputan atau herba tepi air yang lebat, memburu kodok, berudu dan ikan kecil-kecil. Tidak jarang, pada saat matahari terbit ular ini telah terlihat menjalar di antara tanaman padi di sawah. Ular kisik juga kerap berkeliaran di pekarangan dan halaman rumah, terutama dekat genangan air.
Ular ini tidak seberapa takut dengan manusia. Anak-anak di pedesaan di Banyumas sering menangkapnya untuk dijadikan permainan karena ular ini tidak menggigit. Hanya saja, apabila merasa terganggu, ular kisik mengeluarkan bau tidak enak yang keras dari kelenjar di dekat anusnya. Apabila terjadi demikian, biasanya ular ini segera dilepaskan kembali oleh anak-anak tersebut.
Ular kisik terbatas menyebar di Sumatra, termasuk beberapa pulau di sekitarnya seperti Pulau We dan Bangka dan Jawa. Diintroduksi ke Singapura.
Ular kisik bertelur hingga delapan butir.sumber

Ular pelangi a.k.a. xenopeltis unicolor

Ular pelangi adalah sejenis ular yang termasuk anggota suku Xenopeltidae. Ular ini diberi nama demikian karena lapisan transparan pada sisiknya membiaskan warna-warni pelangi dari cahaya matahari. Dalam bahasa Inggris disebut dengan nama sunbeam snake atau iridescent earth snake. Sementara nama ilmiahnya adalah Xenopeltis unicolor (Schneider, 1799), merujuk pada keistimewaan sisik-sisiknya (Xeno: aneh, ajaib; peltis: perisai).
Sisi atas tubuh (dorsal, punggung) berwarna coklat atau abu-abu kehitaman, merata (unicolor: berwarna seragam) dan berkilauan apabila terkena cahaya. Sisik-sisik dorsal dalam 15 deret. Deret terbawah berwarna putih, beberapa deret berikutnya seperti warna punggung umumnya namun dengan tepian berwarna putih. Sisi bawah tubuh (ventral) putih. Ular muda dengan kepala dan leher yang berwarna putih, kecuali moncongnya yang kecoklatan. Warna putih ini berangsur-angsur menghilang bersama dengan bertambah besarnya sang ular.
Perisai (sisik-sisik besar) di atas ubun-ubun kepala berbentuk mirip belah ketupat. Tidak seperti kebanyakan ular, perisai parietal (pelipis) kanan dan kiri tidak bersinggungan; melainkan terpisah oleh adanya perlekatan perisai frontal (dahi, di antara kedua mata) dengan perisai oksipital tengah yang berukuran besar. Keempat perisai itu berukuran hampir sama besar, dan bersama-sama membentuk bangun belah ketupat yang lebih besar lagi.
Panjang tubuh maksimum lebih sedikit dari satu meter, kebanyakan antara 80-90 cm. Ekornya pendek, sekitar sepersepuluh panjang tubuh atau kurang. Sisik-sisik ventral 173-196 buah, anal (yang menutupi anus) sepasang, dan subkaudal (di bawah ekor) 24-32 pasang.
 Ular pelangi menghuni daerah lembap dan berawa-rawa di sekitar pantai, sungai, persawahan, dan daerah berhutan; di dataran rendah hingga pegunungan di ketinggian sekitar 1300 m dpl (David and Vogel, 1997). Tidak jarang pula ditemukan di sekitar pemukiman, terutama di daerah terbuka dan berumput-rumput yang meliar. Ular ini sering bersembunyi di bawah kayu busuk, bebatuan, tumpukan serasah, atau menggali lubang dalam lumpur, tidak jauh dari air.
Ular ini sangat jinak dan tidak berbahaya serta tidak berbisa oleh karena itu ular ini sering di jadikan peliharaan oleh para pecinta reptil sedikit bocoran ane juga pernah melihara uler ini gan. hehehehe
Jadi untuk yang masih baru n mau pelihara ular ane saranin pelihara ular ini dulu baru yang lain krn perawatan ular ini juga gak ribet.
Makanan ular ini adalah katak,ikan,kadal,tikus dan apabila ada ular lain yang ukurannya lebih kecil dari ular ini dia juga gak nolak buat menelannya!

Ular Karung a.k.a Acrochordus javanicus

ular karung adalah ular yang sangat unik karena ular memiliki kulit yang sangat longgar seperti karung,, setelah makan perut ular ini tidak membesar seperti ular-ular lain dikarenakan kulit ular ini yang sangat longgar.
Ular ini mampu tumbuh hingga 2,5 meter,, ular ini sangat suka makan ikan baik kecil maupun besar oleh karena itu ular ini tidak pernah keluar dari dalam air, selain itu apabila ia keluar dari air maka ia tidak akan berdaya.
uUlar ini tidaklah berbisa sehingga dewasa ini banyak orang yang memelihara ular ini di aquarium.
Ular unik yang sangat cocok untuk dipelihara oleh para pecinta ular khususnya yang masih newbie.

Ular Sanca Hijau (Morelia viridis)

Kebanyakan spesies python berstatus langka. Dalam CITES (Convention Internaional Trade in Endangered of Wild Flora and Fauna), semua famili Boidae termasuk ular Sanca Hijau ( Morelia viridis) di dalamnya masuk dalam Appendix II, itu berarti satwa imi terancam dan perdagangan hanya diijinkan dengan ijin tertentu. Ular Sanca Hijau (Morelia viridis) diburu untuk dijadikan hewan kesayangan karena memiliki kulit yang indah dan mahal harganya sehingga tidak mengherankan jika spesies ini menjadi incaran para pelaku bisnis.

Sejak awal sudah disadari bahwa pola pemanfaatan satwaliar dengan cara memungut langsung dari alam dalam jangka panjang akan mengancam kelestarian jenis tersebut. Padahal hakekat keberadaan satwaliar sebagai salah satu sumberdaya ekonomi, tidak semata dimaksudkan untuk kepentingan generasi sekarang melainkan juga untuk kepentingan generasi mendatang. Maka diperlukan suatu pengaturan dan perubahan pola pemanfaatan satwa liar agar tetap menjamin kelestarian fungsi-fungsinya menjadi penting.

Salah satu cara untuk melestarikan ular agar populasinya tidak mengalami penurunan adalah dengan mengembangkannya melalui kegiatan penangkaran. Penangkaran merupakan salah satu cara dalam rangka kegiatan pelestarian satwa diluar habitat aslinya (ex-situ) yang memerlukan keahlian yang khusus. Pengetahuan dasar yang harus dimiliki adalah pengetahuan tentang: biologi dan ekologi jenis, reproduksi, pakan, penanganan penyakit, dan aspek-aspek pemeliharaan lainnya.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bioekologi



Gb 1. Ular Sanca Hijau (Morelia viridis)

Menurut Gow (1989) dalam Kustiarto (1990), ular sanca hijau (Morelia viridis) memiliki klasifikasi sebaga berikut:

Phy llum: Chordata

Subphyllum: Vertebrata

Class: Reptilia

Subclass: Lepidosauria

Ordo: Squamata

Subordo: Serpe ntes

Famili: Boidae

Subfamili: Phytonidae

Genus: Morelia

Species: Morelia viridis

Ular sanca hijau memiliki bentuk kepala lebih jelas yang dapat dibedakan dari leher yang tertutup sisik kecil, nostris pada nasal tunggal atau nasal yang terbagi. Tiap-tiap nasal tersebut dipisahkan oleh sisik-sisik kecil, labial atas anterior, rostral, dan beberapa labial bawah yang berlubang. Pupil mata ular Sanca Hijau mempunyai bentuk vertikal, premaxillary tanpa gigi, gigi anterior besar dan posterior kecil, badan sedikit pipih yang tertutup oleh sisik halus, ekor sedang, prehensile, sisik subcaudal dua baris. Ular ini memiliki panjang antara 1.5 meter hingga 1.8 meter.

B. Penyebaran

Ular sanca Hijau (Morelia viridis) hidup di daerah tropis, hutan hujan tropis, dan hutan pegunungan, baik hutan primer maupun hutan sekunder yang lembab. Penyebaran jenis ular ini adalah di New Guinea Australia dan di Kepulauan Aru. Ular ini hanya mempunyai satu spesies yaitu Morelia viridis ( Kustiarto 1990).

Menurut Van Hoeve (1988) dalam Kustiarto (1990), Sanca Hijau pada umumnya hidup di hutan primer dan hutan sekunder, menempati habitat dataran rendah dan air, bahkan dijuluki dengan hewan setengah air karena hidupnya lebih menyukai air. Makanan ular Sanca Hijau (Morelia viridis) pada umumnya sejenis tikus dan rodentia kecil-kecil dengan cara membelit dari pucuk pohon kemudian menelannya.

Pada lingkungan yang bertekanan rendah, maka akan memiliki tingkat kesuburan ular Sanca Hijau (Morelia viridis) yang tinggi. Hal ini akan terlihat jelas pada penangkapan ular Sanca Hijau di alam oleh masyarakat (Ross et al. 1990).

C. Perilaku

Perilaku satwa adalah ekspresi satwa yang disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor tersebut adalah faktor dalam (endogenous factor) dan faktor luar (exogenous factor) serta faktor pengalaman dan faktor fisiologi (Sentanu 1999).

Selanjutnya dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi tingkah laku binatang tersebut dikatakan sebagai rangsangan, sedangkan aktivitas yang ditimbulkan oleh rangsangan tersebut dikenal dengan nama respon (Tanudimadja & Kusumamihardja 1985). Tanudimadja dan Kusumamihardja (1985) juga mengatakan bahwa fungsi dari perilaku adalah untuk memungkinkan satwa beradaptasi terhadap perubahan, baik perubahan dari dalam (internal) maupun perubahan dari luar (external) tubuh satwa.

Secara umum perilaku seksual pada ular hampir sama dengan perilaku pada jenis-jenis reptil yang lain yakni terdapat 5 tahapan, seperti yang diuraikan oleh (Suharmono 1998). Tahapan-tahapan perilaku seksual tersebut adalah:

1. Menarik perhatian

Perilaku kawin dimulai dengan perilaku menarik perhatian (courtship) yang dilakukan oleh induk jantan kepada induk betina. Dalam menarik perhatian induk betina, umumnya induk pejantan menampilkan gerakan-gerakan sembari menjulurkan lidahnya.

2. Bercumbu

Setelah menangkap tubuh betina, maka pejantan akan melakukan percumbuan. Percumbuan yang dilakukan pejantan adalah dengan mencengkram betina, menggigit lehernya sambil meninggalkan luka. Setelah itu betina dilepaskan kembali.

3. Menaiki

Tahap menaiki yang dilakukan pejantan hampir sama dengan tahap bercumbu. Untuk tahap ini posisi jantan tidak terletak di atas tubuh betina, akan tetapi menjatuhkan dirinya disamping tubuh induk betina.

4. Intomisi dan Ejakulasi

Tahap intomisi di awali dengan berontaknya betina sehingga menyebabkan terangkatnya lubang kloaka betina. Pada saat bersamaan pada lubang kloaka pejantan muncul organ hepernis sehingga kedua lubang tersebut bertemu dan organ hepernis jantan masuk ke kloaka betina hingga organ hemipenis jantan mengeluarkan cairan sperma.

5. Relaksasi

Merupakan tahapan terakhir dari seksual ditandai dengan melepasnya organ hemipenis dan ekor pejantan mengendorkan cengkeramannya dan melepaskan leher betina. Perilaku yang terjadi setelah tahap ini adalah berdiam diri ditempatnya untuk istirahat.

Ross et al. (1990) menyatakan bahwa jenis makanan ular pada dasarnya ditentukan oleh habitat ular itu sendiri, ketersediaan makanan akan menjamin kelangsungan hidupnya di alam. Makanan yang terbaik bagi ular di penangkaran adalah makanan yang seperti keadaan alaminya seperti tikus, burung dan lain sebagainya. Biasanya pada tahap awal dilakukan pengenalan terhadap makanannya selama 7 sampai 12 hari, pada tahap itu anakan ular masih makan cairan yang di bawanya saat penetasan.

D. Pertumbuhan

Rounsefell dan Everhart (1962) dalam Kustiarto (1990) berpendapat bahwa pertumbuhan dapat diartikan secara sederhana sebagai pertambahan gradual ukuran atau massa atau unit sesuatu dari unit kehidupan dengan bertambahnya waktu. Ini berlaku untuk bagian organisme, keseluruhan organisme atau populasi suatu organisme. Sedangkan laju pertumbuhan adalah pertambahan ukuran yang telah dicapai (mm) per minggu. Jadi laju pertumbuhan lebih menyerupai perhitungan secara logaritmik daripada perhitungan secara aritmatika. Pertumbuhan suatu organisme dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu faktor dalam dimana pola pertumbuhannya diturunkan oleh induk dan faktor luar dimana pertumbuhannya dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti kualitas dan kuantitas makanan serta suhu.

E. Penangkaran

Masy’ud (1989) memberikan pengertian tentang penangkaran yaitu sebagai suatu kegiatan untuk mengembangkan jenis-jenis satwaliar atau tumbuhan alam yang bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan. Selanjutnya dikatakan bahwa kegiatan penangkaran adalah meliputi kegiatan pengumpulan bibit, pengembangbiakan, perkawinan, penetasan telur, pembesaran anak, serta pelepasliaran kembali ke alam.

Menurut Masy’ud (1989) teknologi yang dibutuhkan mencakup berbagai tahapan usaha penangkaran mulai dari tahap pengumpulan atau penangkaran satwa yang akan digunakan sebagai bibit dari lapangan, tahap pengangkutan, pemeliharaan, pembesaran serta pengembalian kembali ke alam.

Teknologi penangkapan satwa perlu diperhatikan secara khusus, mengingat perilaku satwaliar umumnya sangat sensitif. Karena sifat satwa yang khas tersebut maka diperlukan suatu teknik yang tepat untuk menghindari terjadinya stress pada satwa selama proses penangkapan dan pengangkutan. Dalam proses penangkaran, teknologi yang diperlukan mencakup aspek perkandangan, makanan, reproduksi, kesehatan, dan pasca panen. Selain itu suatu penangkaran dikatakan sukses apabila teknologi reproduksi satwa tersebut telah diketahui dan dikuasai dengan baik dengan bukti satwa yang ditangkarkan dapat berkembangbiak dengan baik pula.

Adapun menurut Masy’ud (1989) penangkaran tidak hanya bertujuan untuk mempertahankan jenis-jenis satwaliar yang terancam kepunahannya tetapi juga sebagai usaha untuk melipatgandakan populasi dan mempertahankan kemunian jenis satwa yang ditangkarkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat.sumber

dipong / pyton curtus

Kita di Indonesia mengenalnya dengan nama Dipong. Daerah penyebarannya di Sumatera yang berwarna cream/merah dan Kalimantan yang memiliki corak dasar hitam. Merupakan jenis ular yang tidak memiliki racun. Jika sedang menyerang, dia bisa seperti mempunyai pegas yang dapat melentingkan tubuhnya ke sasaran. Diketahui bisa mencapai 2meter, meskipun pada umumnya kita lebih banyak menemukan dengan ukuran rata-rata hanya 1,2meter. Meskipun bukan ular yang berbadan panjang, dipong bisa mencapai lebih dari 10kg dikarenakan dia memiliki lingkar badan yg besar.
Biasa hidup di hutan hujan dan sering ditemukan di sepanjang pinggiran sungai. Jadi memang dipong membutuhkan lingkungan hidup yang mempunyai kelembaban tinggi, namun bukan berarti di dalam air ya.. seperti yang banyak hobies terapkan sehingga si ular menjadi rentan flu dan penyakit lainnya. Dipong sendiri termasuk jenis ular yang mudah stres , kalau ular tersebut stres bisa-bisa mogok makan berminggu-minggu , bahkan ada yang sampai berbulan-bulan dan akhirnya ular tersebut MATI. Dipong sendiri banyak dipelihara oleh para pencinta reptil (termasuk saya sendiri) hehe .. biasanya dipong di peruntukan bagi pemula , hal ini di sebabkan karena tidak terlalu sulit dalam perawatannya. Biasanya dipong diberi pakan mencit (tikus putih) , emprit . Saya sendiri memberikan mencit sebagai menu utama untuk si 'Pongki' (nama ular dipong saya) hehe ..

untuk dipong yg masih berukuran 20-50 cm bisa diberikan makan mencit/emprit . Akan tetapi apabila umurnya sudah dewasa dan otomatis tubuhnya juga sudah besar dapat diberikan makan marmut . Bentuk ular yang sering di kenal dipong ini sangat unik karena tidak memanjang , melainkan melebar , hehe .. 

Nah sekarang cara membedakan jenis atau locality dipong dari retina mata , check this :D
  

Nah itu beberapa jenis dipong menurut locality yang dapat di lihat dari retina .
Nah sekarang coba di liat beberapa jenis dipong morp . Yang pasti bikin mata kita melotot :D
beberapa gambar tersebut saya ambil dari beberapa sumber .

Golden Eye (het magpie curtus)
sumber: adriyantotasma.multiply.com
                                                            
                                                                   Albino Granit Curtus
                                                    sumber: adriyantotasma.multiply.com



Granit
                                                    sumber: adriyantotasma.multiply.com
                                                    
                                                                       Red Albino T- 
                                                  sumber: adriyantotasma.multiply.com
                
                                                                                 Ivory
                                                   sumber: adriyantotasma.multiply.com
                 
                                                                          Slack Line
                                                                             
                                                                           Magpie
                                             
                                                                            Albino T-

                                                            Reduce Pattern Ultra Breit

                                                                        Ultra Breit

                                                               Red Llily Het Albino

                                                    VPI ALBINO GOLDEN EYE RED

                                          VPI ORANGE TNEG PYTHON BRONGERSMAI

Ular kepala-dua / Cylindrophis ruffus

Ular kepala-dua adalah sejenis ular primitif yang tidak berbisa. Dinamai demikian, karena perilakunya manakala merasa terganggu, ular ini menegakkan ekornya seolah-olah di situlah letak kepalanya pada kenyataannya kepala yang sesungguhnya disembunyikannya di bawah gulungan badannya.
Ular ini juga dikenal dengan nama-nama lain seperti, oray totog atau oray teropong (Sd.), majara (Toraja), ular gelenggang, dan lain-lain. Dalam bahasa Inggris disebut dengan nama Red-tailed Pipe Snake atau Common Pipe Snake, sementara nama ilmiahnya adalah Cylindrophis ruffus (Laurenti, 1768).


Pemerian

Ular yang bertubuh silindris (cylindrophis; Gr. kylinder, batang penggiling, dan ophis, ular), dengan ekor amat pendek dan hampir tak terbedakan dengan kepala. Kepala dan ekor sama-sama tumpul. Panjang tubuh dapat mencapai 90 cm, akan tetapi agak jarang yang melebihi 50 cm.
Tubuh bagian atas (dorsal) berwarna hitam, dengan belang-belang merah jingga di kanan-kirinya (ruffus; salah tulis dari kata rufus, kemerahan). Kepala dan ekor berwarna merah jingga dengan noda-noda hitam. Warna-warna cerah ini sering memudar atau menghilang dengan bertambahnya umur dan ukuran tubuh ular, sehingga ular nampak dominan kehitaman. Sisi bawah tubuh (ventral) hitam dengan belang-belang putih, setidaknya sebagian tersusun berseling seperti papan catur. Sisi bawah ekor kemerahan, menyebabkannya sering disangka sebagai ular cabe (Maticora intestinalis) yang berbisa.
Sisik-sisik di sisi ventral tidak terbedakan (tidak melebar) dari sisik-sisik dorsal. Sisik ventral 186-222, sisik anal berbelah, sisik subkaudal (bawah ekor) 5-7 buah, dan sisik dorsal dalam 19-21 deret di tengah badan.

Kebiasaan


Ular kepala-dua ketika merasa terganggu
Ular kepala-dua umumnya ditemukan di dataran rendah, meskipun Tweedie (1983) menyebutkan pernah didapatkan pada ketinggian 1.700 m dpl. Ular ini menghuni hutan-hutan dataran rendah yang lembap, kebun dan lahan-lahan pertanian. Tempat yang disukainya adalah yang memiliki tanah gembur atau berlumpur, di mana ular ini dapat menyusup masuk (fossorial) untuk mencari mangsanya. Karena itu, ular kepala-dua sering pula ditemukan di sekitar daerah berawa-rawa dan persawahan, di bawah kayu-kayu lapuk di hutan, di balik tumpukan serasah yang membusuk, atau di tepi sungai. Ular ini tidak jarang dijumpai di jalan tanah, di pagi hari sesudah hujan lebat turun pada malamnya.
Aktif di malam hari (nokturnal), ular kepala-dua diketahui memangsa ular-ular lain yang lebih kecil, kadal, bayi-bayi mamalia, dan cacing tanah. Juga pernah dilaporkan memangsa sejenis sidat dan larva serangga.
Ular yang berwarna indah ini sama sekali tidak berbahaya, bahkan tidak mau menggigit orang. Bila merasa terusik, alih-alih berlari ular kepala-dua biasanya segera menggulung tubuhnya dan menyembunyikan kepalanya, serta menegakkan ekornya tinggi-tinggi. Postur ekornya yang memipih dan melengkung dengan tepat, mengingatkan kita pada rupa seekor kobra yang sedang marah, meski berukuran lebih kecil. Namun hanya itu saja kebisaannya. Bilamana si pengganggu tidak kena digertak, ular inilah yang segera beringsut pergi. Tentu saja dengan kepala aslinya lebih dahulu.
Melihat postur yang ‘mengancam’ itu, orang-orang yang tidak mengenalnya biasanya tanpa ampun segera membunuhnya. Dan malangnya ular ini tidak begitu lincah dan cepat untuk menghindarinya.
Ular kepala-dua bersifat ovovivipar, telurnya menetas selagi dalam kandungan, dan melahirkan sampai 13 ekor anak di satu saat.

ular kawat / Ramphotyphlops braminus


Ular kawat merupakan sejenis ular yang terkecil di dunia. Nama ilmiahnya adalah Ramphotyphlops braminus (Daudin, 1803). Sementara nama-namanya dalam bahasa lain adalah common blindsnake, Brahminy blindsnake, flowerpot snake, bootlace snake (Eng.); ular kawat, ular cacing (Ind.), ular duwel (Jw.).

Identifikasi

Ular kawat bertubuh amat kecil, nampak berkilau seperti sepotong kawat kecil kehitaman. Panjang tubuh hingga 175 mm, akan tetapi jarang yang lebih panjang dari 15 cm. Kebanyakan malah sekitar 10 cm atau kurang.
Tubuhnya berwarna hitam, kehitaman, kecoklatan, atau abu-abu kebiruan. Umumnya lebih gelap di bagian dorsal (punggung) dan lebih muda di sisi ventral (perut). Ekornya amat pendek dan pada ujungnya terdapat runcingan serupa duri. Terkadang kedua ujungnya (kepala dan ekor) berwarna lebih muda atau keputihan.
Matanya tersembunyi dan hanya nampak sebagai bintik gelap samar-samar di balik sisik kepalanya. Oleh sebab itu, dalam bahasa Inggris dikenal sebagai blind snake (ular buta). Sisik-sisik yang menutupi bagian tengah tubuh tersusun dalam 20 deret, amat halus dan serupa saja bentuknya di bagian dorsal maupun ventral.

Kebiasaan dan ekologi

Ular ini sangat mirip cacing, baik ukuran tubuh maupun perilakunya. Sering ditemukan di bawah perabotan rumah, di balik pot-pot tanaman dan di halaman, di bawah batu dan kayu-kayu busuk, ular ini dengan segera menggelepar seperti cacing bila terusik. Namun bila diamati dengan seksama, terlihat ular ini memiliki sisik yang berkilau dan kulitnya tidak berlendir.
Ular kawat menggemari tempat-tempat yang sedemikian untuk mencari mangsanya yang berupa telur-telur semut, rayap dan berbagai serangga kecil lainnya. Mulutnya begitu kecil, dan hanya cukup untuk menelan mangsanya yang juga amat kecil. Karena itu adanya sangka-sangkaan orang bahwa ular kawat termasuk semacam ular yang amat berbisa dan dapat mematikan manusia hanyalah mitos yang tidak berdasar. Ular ini bahkan tidak mampu menggigit orang.
Ular ini diduga berbiak secara partenogenesis, yakni telurnya berkembang menjadi individu ular tanpa dibuahi oleh ular jantan. Dugaan ini muncul karena semua spesimen ular ini yang berhasil dikumpulkan ternyata teridentifikasi dengan kelamin betina (Tweedie, 1983). Sejenis ular lain yang juga diketahui memiliki kemampuan partenogenesis adalah ular karung Papua (Acrochordus arafurae).
Kebiasaan ular ini yang hidup di bawah tanah (fossorial), ukurannya yang amat kecil, dan kemampuan partenogenesisnya, menjadikan ular kawat ini mudah tersebar luas; populasinya dapat terbentuk hanya dengan satu spesimen ular yang terbawa dalam tanah pada pot tanaman.

Penyebaran

Penyebaran ular ini amat luas: Afrika (Zanzibar, Tanzania, Mozambique, Somalia, Kamerun, Benin, Togo, Pantai Gading). Madagaskar, kepulauan-kepulauan Comoro, Mascarenes, Seychelles, Mauritius, Reunion, Rodrigues.
Asia tropis (Arab, Persia, India, Srilanka, Myanmar, Muangthai, Indochina, Tiongkok selatan, Jepang selatan, Hongkong, Taiwan, Filipina, Semenanjung Malaya, dan kepulauan-kepulauan di Samudera Hindia).
Pasifik (Guam, Solomon, New Caledonia, Hawaii), Meksiko, Guatemala dan Hindia Barat.
Di Indonesia ular kawat menyebar di seluruh kepulauan.

Ular sanca kembang


Sanca kembang adalah sejenis ular tak berbisa yang berukuran besar. Ukuran terbesarnya dikatakan dapat melebihi 10 meter. Lebih panjang dari anakonda (Eunectes), ular terbesar dan terpanjang di Amerika Selatan. Nama-nama lainnya adalah ular sanca; ular sawah; sawah-n-etem (Simeulue); ular petola (Ambon); dan dalam bahasa Inggris reticulated python atau kerap disingkat retics.
Sanca kembang ini mudah dikenali karena umumnya bertubuh besar. Keluarga sanca (Pythonidae) relatif mudah dibedakan dari ular-ular lain dengan melihat sisik-sisik dorsalnya yang lebih dari 45 deret, dan sisik-sisik ventralnya yang lebih sempit dari lebar sisi bawah tubuhnya. Di Indonesia barat, ada lima spesiesnya: tiga spesies bertubuh gendut pendek yakni kelompok ular peraca (Python curtus group: P. curtus, P. brongersmai dan P. breitensteini) di Sumatra, Kalimantan dan Semenanjung Malaya.
Dua spesies yang lain bertubuh relatif panjang, pejal berotot: P. molurus (sanca bodo) dan P. reticulatus. Kedua-duanya menyebar dari Asia hingga Sunda Besar, termasuk Jawa. P. molurus memiliki pola kembangan yang berbeda dari reticulatus, terutama dengan adanya pola V besar berwarna gelap di atas kepalanya. Sanca kembang memiliki pola lingkaran-lingkaran besar berbentuk jala (reticula, jala), tersusun dari warna-warna hitam, kecoklatan, kuning dan putih di sepanjang sisi dorsal tubuhnya. Satu garis hitam tipis berjalan di atas kepala dari moncong hingga tengkuk, menyerupai garis tengah yang membagi dua kanan kiri kepala secara simetris. Dan masing-masing satu garis hitam lain yang lebih tebal berada di tiap sisi kepala, melewati mata ke belakang.
Sisik-sisik dorsal (punggung) tersusun dalam 70-80 deret; sisik-sisik ventral (perut) sebanyak 297-332 buah, dari bawah leher hingga ke anus; sisik subkaudal (sisi bawah ekor) 75-102 pasang. Perisai rostral (sisik di ujung moncong) dan empat perisai supralabial (sisik-sisik di bibir atas) terdepan memiliki lekuk lubang penghidu bahang (heat sensor pits) yang dalam (Tweedie 1983).
Sanca kembang terhitung ular yang terbesar dan terpanjang di dunia. The Guinness Book of World Records tahun 1991 mencatat sanca kembang sepanjang 32 kaki 9.5 inci (sekitar 10 meter) sebagai ular yang terpanjang (Murphy and Henderson 1997). Namun yang umum dijumpai adalah ular-ular yang berukuran 5-8 meter. Sedangkan berat maksimal yang tercatat adalah 158 kg (347.6 lbs). Ular sanca termasuk ular yang berumur panjang, hingga lebih dari 25 tahun.
Ular-ular betina memiliki tubuh yang lebih besar. Jika yang jantan telah mulai kawin pada panjang tubuh sekitar 7-9 kaki, yang betina baru pada panjang sekitar 11 kaki. Dewasa kelamin tercapai pada umur antara 2-4 tahun.
Musim kawin berlangsung antara September hingga Maret di Asia. Berkurangnya panjang siang hari dan menurunnya suhu udara merupakan faktor pendorong yang merangsang musim kawin. Namun demikian, musim ini dapat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain. Shine et al. 1999 mendapatkan bahwa sanca kembang di sekitar Palembang, Sumatera Selatan, bertelur antara September-Oktober; sementara di sekitar Medan, Sumatera Utara antara bulan April-Mei.
Jantan maupun betina akan berpuasa di musim kawin, sehingga ukuran tubuh menjadi hal yang penting di sini. Betina bahkan akan melanjutkan puasa hingga bertelur, dan sangat mungkin juga hingga telur menetas (McCurley 1999).
Sanca kembang bertelur antara 10 hingga sekitar 100 butir. Telur-telur ini ‘dierami’ pada suhu 88-90 °F (31-32 °C) selama 80-90 hari, bahkan bisa lebih dari 100 hari. Ular betina akan melingkari telur-telur ini sambil berkontraksi. Gerakan otot ini menimbulkan panas yang akan meningkatkan suhu telur beberapa derajat di atas suhu lingkungan. Betina akan menjaga telur-telur ini dari pemangsa hingga menetas. Namun hanya sampai itu saja; begitu menetas, bayi-bayi ular itu ditinggalkan dan nasibnya diserahkan ke alam.
Sanca kembang menyebar di hutan-hutan Asia Tenggara. Mulai dari Kep. Nikobar, Burma hingga ke Indochina; ke selatan melewati Semenanjung Malaya hingga ke Sumatra, Kalimantan, Jawa, Nusa Tenggara (hingga Timor), Sulawesi; dan ke utara hingga Filipina (Murphy and Henderson 1997).
Sanca kembang memiliki tiga subspesies. Selain P.r. reticulatus yang hidup menyebar luas, dua lagi adalah P.r. jampeanus yang menyebar terbatas di Pulau Tanah Jampea dan P.r. saputrai yang menyebar terbatas di Kepulauan Selayar. Kedua-duanya di lepas pantai selatan Sulawesi Selatan.
Sanca kembang hidup di hutan-hutan tropis yang lembap (Mattison, 1999). Ular ini bergantung pada ketersediaan air, sehingga kerap ditemui tidak jauh dari badan air seperti sungai, kolam dan rawa.
Makanan utamanya adalah mamalia kecil, burung dan reptilia lain seperti biawak. Ular yang kecil memangsa kodok, kadal dan ikan. Ular-ular berukuran besar dilaporkan memangsa anjing, monyet, babi hutan, rusa, bahkan manusia yang ‘tersesat’ ke tempatnya menunggu mangsa (Mattison 1999, Murphy and Henderson 1997, Shine et al. 1999). Ular ini lebih senang menunggu daripada aktif berburu, barangkali karena ukuran tubuhnya yang besar menghabiskan banyak energi.
Mangsa dilumpuhkan dengan melilitnya kuat-kuat (constricting) hingga mati kehabisan napas. Beberapa tulang di lingkar dada dan panggul mungkin patah karenanya. Kemudian setelah mati mangsa ditelan bulat-bulat mulai dari kepalanya.
Setelah makan, terutama setelah menelan mangsa yang besar, ular ini akan berpuasa beberapa hari hingga beberapa bulan hingga ia lapar kembali. Seekor sanca yang dipelihara di Regent’s Park pada tahun 1926 menolak untuk makan selama 23 bulan, namun setelah itu ia normal kembali (Murphy and Henderson 1997).

Sanca dan Manusia

Sanca --terutama yang kecil-- kerap dipelihara orang karena relatif jinak dan indah kulitnya. Pertunjukan rakyat, seperti topeng monyet, seringkali membawa seekor sanca kembang yang telah jinak untuk dipamerkan. Sirkus lokal juga kadang-kadang membawa sanca berukuran besar untuk dipamerkan atau disewakan untuk diambil fotonya.
Sanca banyak diburu orang untuk diambil kulitnya yang indah dan bermutu baik. Lebih dari 500.000 potong kulit sanca kembang diperdagangkan setiap tahunnya. Sebagian besar kulit-kulit ini diekspor dari Indonesia, dengan sumber utama Sumatra dan Kalimantan. Semua adalah hasil tangkapan di alam liar.
Jelas perburuan sanca ini sangat mengkhawatirkan karena mengurangi populasinya di alam. Catatan dari penangkapan ular komersial di Sumatra mendapatkan bahwa sanca kembang yang ditangkap ukurannya bervariasi antara 1 m hingga 6 m, dengan rata-rata ukuran untuk jantan 2.5 m dan betina antara 3.1 m (Medan) – 3.6 m (Palembang). Kira-kira sepertiga dari betina tertangkap dalam keadaan reproduktif (Shine et al. 1999). Hingga saat ini, ular ini belum dilindungi undang-undang. CITES (konvensi perdagangan hidupan liar yang terancam) memasukkannya ke dalam Apendiks II.

Followers

Popular Posts Today

Labels

 
Support : Copyright © 2011. DUNIA BINATANG - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website Inspired Wordpress Hack
Proudly powered by Blogger